Recent Posts

q

Jumat, 05 Agustus 2011

Landasan Pendidikan Inklusif

Penerapan Pendidikan Inklusif empunyai landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat.
1.        Landasan Filosofi
Landasan filosofis utama penerapan Pendidikan Inklusif di Indonesia adalah pancasila, merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang telah mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinnekaan manusia, baik kebinnekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagia umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan financial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri dan sebagainya. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik dan sebagainya. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Bertolak filosofi Bineka Tunggal Ika, kelainan dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu anak berkelainan pastilah ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaiknya didalam individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan yang lainya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam system pendidikan. System pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragama,sehingga mendorong sikap silih asah,silih asih dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpaiatau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
2.        Landasan Yuridis
Landasan Yuridis  Internasional Penerapan Pendidikan Inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para Mentri Pendidikan se-Dunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1984 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB Tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan. Deklarasi salamca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan Deklarasi UNESCO tersebut diatas.
Di Indoneia, penerapan pendidikan Inklusif dijamin oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional, dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luarbiasa diselenggarakan secara inklusif atu berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraan akan diatur dalam bentuk peraturan operasional.
3.      Landasan Pedagosis
Pada Pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa Tujuan Pendidikan Nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kretif, mandiri dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab. Para peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya dengan ditempatkan disekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan untuk berkumpul bersama teman sebayanya.
4.      Landasan Empiris
Penelitian tentang Inklusif telah banyak dilakukan di Negara-negara barat sejak tahun 1980-an, namun penelitian yang bersekala besar dipelopori oleh the Natonal Academy of Sceinces, Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Missick dalam Neely, 1982). Berapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker,Wang dan Walberg, 1994/1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan meta-analitis terhadap hasil penelitian sejenis. Hasil analsis dilakukan oleh Carlbeg dan Kavale (1980) terhadap 50 penelitan, Wang dan Baker terhadap 11 buah penelitian dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjikan bahwa Pendidikan Inklusuf berdampak positif, baik terhadap perken\mbangan akademik maupunsosial anak berkelainan dan teman sebayanya.

0 komentar:

Posting Komentar