Recent Posts

q

Jumat, 05 Agustus 2011

Perkembangan Institusional

Tersebarnya ilmu pengetahuan Islam pada awal mulanya berpusat pada individu-individu, dan pemikiran Islam pada umumnya lebih bercirikan usaha individual dibandingkan produk institusi sekolahan. Para tokoh yang telah memiliki kompetensi dan otoritas, secara partikel menarik murid-murid baik yang jauh maupun yang dekat untuk menimba ilmu pengetahuan dari mereka. Maka dalam kinteks ini tercermin begitu signifikan peran individual seorang guru atau fragmentasi ulama. Menyertai pola rekrutmen siswa pada tempat belajar u\yang didirikannya, kemudian sertifikasi dan otorisasi yang dilakukanyyapun bersifat pertikelir (Fazlurrahman, 1997: 184-185).
Secara lebih khusus, George Makdisi ketika memaparkan perkembangan lembaga pendidikan hokum Islam,menyebut mufti adalah produk pendidikan ialam yang pertama sebelum munculnya tradisi pendidikan Islam secara kelembagaan. Embrio ini yang pada gilirannya menjadi fondasi konsep utuh kelembagaan pendidikan yang mapan yang disebut dengan Madrasah (Makdisi, 1991: 74).
Secara lebih luas George Makdisi menampilkan periodisasi mengenai tahapan perkembangan kelembagaan pendidikan Islam ini dalam dua tahap yaitu pre-madrasa institution dan The madrasa and Cognate Institutions (Makdisi, 1981:9-34). Catatn lain mengenai perkembangan institusi terutama yang berlaku dikairo pada masa pertengahan disampikan oleh Jonathan Barkey, (1992: 45-56). Namun pentahapan Makdisi tersebut kurang mencerminkan idiografi perkembangan institusonal, sehingga format yang dipilih dalam tulisan ini disodorkan sebagai elaborasi dari beberapa tulisan tersebut.
Secara bertahap perkembangan bentuk lembaga pendidikan Islam dari waktu ke waktu dapat dipaparkan dalam tiga tahap sebagai berikut:
Pertama; Masa pengajaran melalui masjid. Masa ini didominasi fungsi masjid senagai tempat tranformasi ilmu pengetahuan atau dalam tradisi modern disebut dengan kegiatan beklajar mengajar yang menggunakan term majlis dan halaqa. Tradisi ini dimulai sejak zaman Rasulullah di mana pada saat itu Rasulullah digambarkan sedang duduk di masjid bersama dengan peserta halaqah pendengar dan menyampaikan kata-kata (ajaran) dan mengulanginya sampai tiga kali untuk meyakinkan ingatan pendebgarnya (Pedersen, 1929: 525). Dalam tradisi halaqah ini Rasulullah diberi gelar sebagi al Mu’allim al A’zam (Guru Agung) yang telah berhassil menanamkan Ideologi intelektual yang mapan bagi pengkajian syari’ah Islamiyah yang berbasis al-Qur’an dan Sunnah (Abub, 1977: 121). Tradisi ini diikiti dan ditempuh para khalifah setelah Rasulullah wafat. Bahkan tradisi ini dilanjutkan dengan menyebarkan para guru untuk kepentingan pendidikan kepada masyarakat keberbagai wilayah Islam, dan secara tradisional kegiatan kuliah/ceramah ini dilakukan setiap hari jum’at yang disebut dengan mau’izah. Disamping para wu.az ini, ada juga yang menyampaikan ceranah dalam bentuk penyampain kisah-kisah (qasas) menyertai ceramah kandungan al-Qur’an yang dibacakan untuk jama’ah. Diantara yang terkenal dari para qusas tersebut antara lain; Tamim al Daris, Sulaini bin ‘Itr al Tujibi, Ibnu Kujayra, Khair bin Nu’aim, Ibnu bin Ishaq al Qari’ dll (Padersen, 1929: 526).
Dalam konteks ini sejarah mencatat adanya dua terminology yang digunakan untuk menyebut menyebut pendidikan bernasisi masjid, yaitu Masjid dan Jami’. Masjid merupakan tempat kaum muslimin menjalankan shalat lima waktu, sehingga kegiatan pengajaran dilakukan pada saat setiap hari pada waktu shalat tertentu. Sedangkan Jami’  merupakan kaum umat muslimin menjalankan shalat jum’at secara khusus, karena fungsinya sebagi tempat shalat jum’at hanya satu minggu sekali, maka keseharian masjid itu berfungsi sebagai media pendidikan. Di samping itu dikenal juga terminology lain seperti zawiyah sebagi medi apendidikan khusus mempelajari hokum Islam, dan kuttup atau maktab, yang konotasinya digunakan bagi tempat mempelajari dasar-dasr pengetahuan al-Qur’an. Kedua term terakhir ini termasuk dalam kateguri pendidikan melalui masjid (Makdisi, 1981: 19-20).
Pada abad katiga materi yang disampaikan dalam halaqah juga telah berubah, dari sistemtisasi hadis kepada sistematika baru tradisi penulisan kitab fiqh. Pada tahun 195 H. ketika Imam al Syafi’I tiba di Bagdad, ada dua puluh halaqah yang diselenggarakan untuk para pengajar fiqh madzhab Hanafi. Setelah Imam Syafi’I menyampaikan ajaran dan argumentasinya, halaqah yang semula dikuasai mazdhab Hanafi telah beralih menjadi pengikut mazdhab Syafi’I, sampai tinggal empat atau lima halaqah saja yang tersisa (Padersen, 1992: 527). Pada masa inilah dapat dikatakan jika berbicara keilmuan Islam maka identik dengan fiqh, karena fiqh merupakan akumulasi pemahaman tekstual al-Qur’an dan al-Sunnah yang menjadi subyek materi pembelajaran pada abad pertama.
Kedua; Madrasah Jami’. Lembaga ini merupakan elaborasi fungsi masjid pada masa lalu dengan embrio institusi pendidikan formal. Lingkungan pendidikan yang diciptakan sudah relatif lebih maju, dimana sekitar masjid dibangun rumah-rumah besar bagi para guru, pustakawan dan beberapa staf. Seperti masjid Amr bin Ash dan al Azhar di Kairo, dan masjid Umayyah di Damaskus.
Padersen mengatakan, tradisi ini terjadi atas pengaruh kebudayaan Hellenistik, bahkan dia melanjutkan asumsinya bahwa sebelum adanya dar al hikmah, dar al ‘ilm, atau dar al kutub, tradisi itu telah ada sebagai tradisi zaman Iskandariyah dan paragamon (Padersen, 1929: 532). Namun yang lepas dari pengamatan padersen barangkali nuansa dan orientasi pengabdiannya yang berbeda.
Namun dalam perkembangan ini masih juga kental dengan pengaruh individual karena adanya tradisi waqf  yang terus berkelanjutan, meskipun beberapa lembaga telah didirikan oleh para Amir. Banyak para ilmuan munyebut lembaga pendidikan model leaborasi ini dengan institut,akademi, atau universitas, namun sebutan ini jangan atau tidak dapat dibaynagkan dan dibandingkan dengan persepsi dan perangkat perangkat modern (Bassam Tibi, 1999: 169).
Ketiga; Madrasah. Terminologi Madrasah meskipun sudah dikenal sejak awal (paling tidak mengikuti asumsi al Maqrizi da Suyuti) namun secara institusional baru dapat diwujudkan sebagai lembaga yang berbeda dari terminology lainnya ketika Nizam al Mulk menjadi wazir kesultanan bani Saljuk (456-485H). Lembaga inikemudian dekenal dengan Madarsah Nizamiyah yang didirikan diberbagai tempat (barankali kalau sekarang dikenal sebagai universitas negeri), seperti di Naisabur didirikan Imam al Haramain al Juwayni, di Balkh, Musil, dan Heart. Disamping Nizamiyah, didrikan juga madrasah yang sama di Bagdad yang didirikan oleh Taj al Mulk yang diberi nama Madrasah Tajiyyah (Padersen, 1929:534).

0 komentar:

Posting Komentar