Recent Posts

q

Jumat, 05 Agustus 2011

Perkembangan Disiplin Ilmu

Subyek materi yang diajarkan dalam pendidikan Islam dari waktu-kewaktu mengalami perkembangan yang semakin maju. Pada zaman permulaan, materi pengajaran dalam tradisi pendidikan Islam baru terbatas pada upaya untuk memehami syari’ah yauitu melalui telaan teks al Qur’an dan sunnah Rasul. Fazlurrahman menulis bahwa pada waktu itu ada diskursus tentangkebolehan orang nonmuslim mengajarkan al-Qur’an atau sebaliknya. Akhirnya diputuskan untuk memisahkan antara pengajaran baca tulis dengan pengajaran al-Qur’an. Dengan mengutip Ibnu Khaldun kemudian diperoleh informasi bahwa membaca dan menulis tidaklahg diajarkan di sekolah-sekolah dasr, dan barangsiapa ingin mempelajarinya mestilah mencari bantuan guru yang professional (Fazlurrahman, 1979, 263-264).
Sampai pada abad kedua hijriyah, hadist masih menjadi kegiatan terbesar dan terpadat, dari upaya memelihara otentisitas hadis itu sendiri sampai upaya memahami dan mengkodifikasinya. Bahkan pada awalnya tooh-tokoh fiqh dan ahli tafsirpun muncul sebagai tokoh hadis, termasuk Malik, Syafi’I, Ahmad bin Hambal, dll. Misalnya Abu Zahu, Muahmmad Muhammad, Al Hadis wa al Muhadisun (tt: 243-310). Sampai pada abad ketiga selepas periode Imam Syafi’I, tulis Padersen, disiplin hadis tidak ada lagi (mungkin ungkapan ini untuk mengatakan tidak lagi mendominasi, pen), sedangkan materi pengajaran utama yang muncul adalah fiqh yang telah disusun secara sistematis (Padersen, 1929: 527). Pada periode ini pula adopsi dsan penajaman ilmu-ilmu yang kemudian menjadi materi dalam kurikulum pendidikan dilakukan secara besar-besaran. Sehingga pada periode kelasik, ilmu pengetahuan dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: 1) ilmu ke-Islam-an dengan dominasi al-Qur’an dan Sunnah dan dikonversi dalam Fiqh sebagai sains Islam (Islamic and anceient science/al ‘ulum al Islamiyyah) 2) Filsafat dan ilmi-ilmu alam yang dianggap sebagai ilmu asing danilmu kuno (Islamic and anceient science/al ‘ulum al qudama’) yang berbasis sejarah keilmuan Yunanai, dam 3) ilmu intelektual atau ilmu satra yang berbasis sejarah Persia. Bassam Tibi mengaitkan kegiatan pebajian ilmu-ilmu ini dengan lembaga yang mengkajinya dimana ia memandang bahwa lembaga pendidikan madrasah hanya mengkaji ilmu-ilmu ke-Islam-an, sedangkan diluar ilmu ke-Islam-an itu dipelajari secara mendalam di Dar al ‘ilm atas dukungan pemerintah Abbasiyah (Bassam Tibi, 1999: 170).
Pada periode pertengahan, disaat lembaga pendidikan telah berkembang pasca Nizamiyah, maka kurikulum pendidikan Islam sudah berkembang sangat lengkap. Diantaranya adalah al Lughah/the Arabic language, al Nahwu wa al Sharaf/Grammer, al Balaghah/Rhetoric,al Tafsir/Comentary/Qur’anic Exegesis,al Qira’at Reading, al Tafsir /Commentary/Qur’anic Exegesis,al Qira’at/Qur’anic Reading, al Hadits/Traditions, al Faqh/law, dan al Kalam/theplogi (Dodge, Bayard, 1962: 31-65 dan Ahmaed, Munirud Din, 1968: 32-39). Namun disamping itu ada catatan lain bahwa pada masa Syafi,I, scientific method atau almuzakara wa al nazar telah diajarkan, pada masa al Hiatami telah mengajarkan al tibb/medicine, dan pada masa Abbasiyah telah dipelajari juga Logika, Filsafat, Astronomi, Matematika, Kesehatan Dan Kimia (Padersen, 1929: 526,527, dan 529). Sedemikian itulah khazanah intelektual Islam saat itu.

0 komentar:

Posting Komentar